Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bolehkan Kita Meneliti Judul Penelitian yang Sama?

Pada hakikatnya Skripsi, tesis atau disertasi merupakan hasil penelitian yang telah dilaporkan ke khalayak setelah beberapa tahapan penelitian dilalui, mulai penyusunan proposal, seminar proposal, pengumpulan data, analisis data, dan seminar hasil penelitian hingga ujian atau sidang ujian sarjana. Tahapan-tahapan tersebut harus dilalui oleh seorang calon sarjana, magister atau doktor, sehingga diharapkan karya akhir itu berkualitas. Mahasiswa bisasanya bertanya dari mana kita harus memulai untuk menulis skripsi atau karya ilmiah?



Ada beberapa cara atau dasar pijakan untuk memulai menulis karya ilmiah, sebagai berikut: 
  • Novelty (kebaruan), artinya bidang yang dikaji sangat baru dan relevan dengan kebutuhan masyarakat,
  • Memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan,
  • Dilalui dengan proses metodologis yang baik dan benar,
  • Bukan pengulangan, apalagi penjiplakan, dari karya tulis sebelumnya,
  • Dilakukan dengan penuh kejujuran dan bertanggung jawab


Novelty atau nilai kebaruan sangat penting sebagai tolok ukur karya ilmiah. Logikannya sederhana, hal-hal baru biasanya menarik perhatian orang untuk dipelajari dan dikaji lebih dalam.

Ilmu pengetahuan berkembang demikian cepat sehingga menuntut orang untuk selalu ingin mengetahui perkembangan terbaru dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Orang mesti berpikir untuk apa membuang-buang waktu dan menghabiskan energi mengkaji hal-hal yang telah usang dan tidak ada lagi gunanya.

Persoalannya bagaimana seorang peneliti tahu bahwa materi kajiannya merupakan hal baru. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melakukan kajian terhadap penelitian atau studi- studi terdahulu yang sudah terpublikasikan lewat jurnal, buku ilmiah, majalah atau lewat internet, yang para ahli menyebutnya sebagai ‘state of the arts’. Pencarian karya sebelumnya bukan pekerjaan gampang. Tidak bisa hanya “singgah” ke perpustakaan, tetapi harus serius dengan membaca dan kritis dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Biasanya orang mudah putus asa pada tahapan ini. Sebab, pekerjaan ini menguras energi dan pikiran yang tidak sedikit. Pelacakan studi sebelumnya tidak saja siapa meneliti apa dan di mana, melainkan juga apa yang diteliti, bagaimana menelitinya (metodenya apa), teori apa yang digunakan dan dengan hasil apa. Dan, diteruskan dengan mediskusikan hasil penelitian itu dengan penelitian yang lain untuk sampai pada akhirnya menempatkan posisi rencana penelitian kita dalam jejeran penelitian-penelitian sebelumnya.

Dengan demikian, semakin panjang daftar jumlah penelitian terdahulu dapat diketahui, maka akan semakin jelas posisi rencana penelitian kita. Persoalan klasik yang selalu muncul – dan, maaf, merupakan penyakit peneliti—adalah orang selalu ingin menyebut penelitiannya yang paling baru, dan bahkan satu-satunya di bidangnya karena belum ada orang lain yang melakukan hal itu. Ungkapan demikian sering saya peroleh ketika melakukan pembimbingan dan ujian, bahkan sampai tingkat disertasi sekalipun.

Karena itu, kepada mahasiswa saya selalu wanti-wanti untuk tidak mengatakan “penelitian saya adalah yang pertama’. Sebenarnya ungkapan demikian bisa dihindari jika peneliti sanggup melakukan kajian secara menyeluruh terhadap penelitian sebelumnya. Persoalannya orang belum tahu siapa saja yang telah melakukan penelitian bidang sejenis sudah buru-buru mengatakan penelitiannya merupakan yang pertama. Belum diketahui, bukan berarti tidak ada.

Keuntungan lain dengan melakukan pelacakan studi sebelumnya secara tuntas adalah untuk mengetahui wilayah mana saja yang sudah dikaji oleh peneliti terdahulu, sehingga bisa memudahkan peneliti menyusun rumusan masalah atau fokus penelitian baru.

Banyak orang menemui kesulitan menyusun rumusan masalah karena berangkat dari pengetahuan kosong, sehingga rumusan yang disusun bukan merupakan rumusan masalah atau pertanyaan penelitian sesuai metodologi penelitian.

Atau, bisa jadi rumusan masalah itu merupakan rumusan yang bermasalah. Ini sering dijumpai pada proposal atau hasil penelitian para peneliti pemula. Rumusan masalah penelitian bukan sekadar pertanyaan biasa, melainkan pertanyaan konseptual yang untuk menjawabnya diperlukan renungan dan analisis data. Para ahli menyarankan untuk tidak membuat rumusan masalah yang bersifat teleologis, artinya pertanyaan yang jawabannya sudah banyak diketahui khalayak umum.

Penelitian merupakan kerja dan aktivits ilmiah untuk mengungkap masalah yang tidak diketahui oleh orang awam. Karena itu, peneliti bukan orang sembarangan. Dia adalah ilmuwan yang tugasnya membuka misteri di balik fenomena melalui kerja yang sistematis dan sistemik dengan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan orang banyak. Dengan istilah lain, sebagai kerja ilmiah maka hasil penelitian harus bisa diverifikasi oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Karena itu, bukan pertanyaan penelitian jika jawabannya sudah dapat ditebak dan diketahui oleh masyarakat banyak.

Untuk menghindari hal itu, maka seorang peneliti bisa mengajukan pertanyaan penelitian berangkat dari masalah yang telah diteliti sebelumnya. Bolehkah ini dilakukan? Jawabnya boleh, asalkan dilakukan dengan metode dan perspektif lain. Gejala atau fenomena yang sama diteliti dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan perspektif yang berbeda akan memperkaya khasanah pengetahuan.