Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karakteristik Penelitian Yang Menggunakan Sajian Data Deskriptif Naratif

Penelitian yang menggunkan sajian data deskriptif ini adalah penelitaian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang biasanya datanya berupa sajian data berbentuk narasi. Data yang berbentuk narasi ini akan daianalisis dengan analisis naratif. Ada beberpa bentuk analitis di dalam analisis naratif. Yang akan kita bahas di siniberkaitan erat dengan perspektif formalistik; perspektif ini menggap bahwa teks memiliki koherensi internal. Koherensi  internal tersebut disatupadukan dengan dasar kode, sintaksis, gramatika, dan bentuk.


Formalisme rusia, yang di pelopori  oleh karya –karya Jakobson, Skhlovskif, Bakhtin, Uspensky, Propp, dan tentu saja todorov (penulis keturunan rumania- prancis) menekankan teorinya pada peran bentuk dalam mengemban makna  di dalam naratif (simak Jameson, 197: 615). Dari beberapa tokoh formalisme Rusia, yang paling di kenal luas mungkin adalah vladimir  Propp (1968); ia berusaha menganalisis dongeng-dongeng Rusia dengan teknik analisis kuasi-aljabar. Propp mengklaim bahwa semua dongeng Rusia dapat dipahami dengan empat prisip dasar; fungsi karakter merupakan elemen dongeng yang stabil; fungsi-fungsi di dalam dongeng amatlah terbatas; sekuen-sekuen fungsi tersebut selalu identik; dan dongeng hampir selalu berpegang pada struktur (empat prinsip ini kami parafrasakan dari Propp, 1968, bagian II). Lain Propp maka lain pula dengan Levis Strauss (1963); ia menganalisis mitos dengan dasar oposisi biner (analisis ini meminjam konsep linguistik Roman Jakobson), sistem relasi tertutup, model sinkronis, dan satuan-satuan baku. Ada hal lain yang membuat Strauss berbeda dengan Propp; menurut Strauss, cerita (‘mitos’) bersifat paradigmatis dengan dasar oposisi dan bukan dengan fungsi-fungsi yang bersifat liniear (sintagmatis). Selain Strauss dan Propp, ada pula tokoh-tokoh strukturalisme (semiotik) lain seperti Lotman (1990) dan Greimas (1966); kedua tokoh ini mengembangkan penelitianya dari dasar oposisi dan kontradiksi, dasar tersebut kemudian dugunakan untuk menganalisis struktur kemasyarakatan (simak Jacson, 1986).

Dua bentuk pendekatan dalam analisis naratif yakni pendekatan ‘atas-bawah’ (top-down) dan pendekatan ‘bawah-atas’ (bottom-up) membuat perbedaan asumsi tentang organisasi magna kognitif. Pendekatan ‘atas bawa’ sangat berpengaruh pada bidang pendidikan dan psikologi kognitif (Rumelhart, 1977; rumelhart dan Norman, 1981). Penelitian dibekali dengan serangkaian peraturan dan dan prinsip, pencarian makna teks dilakukan dengan mempergunakan atarun dan prinsip tersebut (Simak Boje, 1991; Heise 1992). Misalnya, ketika menggunakan etnograf, sebuah program di dalam analisis naratif, sebuah program di dalam analisis naratif; sebuah peristiwa (Seperti Revolusi Rusia) mestilah direduksi atau disederhanakan ke dalam serangkaian proposisi. Peristiwa memerlukan prasyarat atau sebab (prakondisi yang menjadi sebab terjadinya Revolusi Rusia, katakanlah ‘kelaparan’). Peristiwa Revolusi Rusia terjadi karena sebab-akibat yang bermula dari prasyarat tersebut (setiap sebab mesti selalu mengandaikan akibat-misalnya, kelaparan menimbulkan kekacauan). Sebuah prasyarat bagi sebuah peristiwa mestilah mencapai puncak terlebih dahulu sebelum bisa terulang kembali. Dalam konteks ini, yang ‘diuji’ adalah model biner (yang bersifat tertutup dan terpatok) dari sang peneliti –musabab kelaparan bisa diakhiri dengan kekacauan atau bukan dengan kekacauan, sebuah peristiwa mungkin terjadi tetapi mungkin juga tidak. Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif dan ilmu komputer; analisis seperti ini munkin dilakukan ketika kapasitas memori dan fleksibilitas komputer dan perangkat lunak yang di pakai dalam penelitian mencukupi. Lawan dari pendekatan ‘atas-bawah’ adalah pendekatan ‘bawah-atas’; pendekatan ini dapat ditemukan pada hampir semua penelitian etnografis. Pendekatan ‘atas-bawah’ menggunakan satuan-satuan makna yang bergantung pada konteks untuk memproduksi infrastruktur yang menjelaskan efek darisuatu cerita. Dwyer (1982) misalnya; ia mempresentasikan  materi-materi penelitian dalam bentuk dialog, antara dirinya sendiri dengan ‘diri lain’ yakni seorang Faquir. Di lain pihak, crapanzano (1980) melakukan interpolasi dan berkomentar terhadap budaya maroko. Laporan penelitian seoerti ini kerap diperoleh dari wawancara pribadi atau dokumen-dokumen; meski demikian, proses penerjemahan materi-materi ini ke dalam argume-argumen yang koheren masih tetap ambigu ( Atkinson, 1992;Riessman, 1993).

Beberapa penelitian membedakan naratif berbeda, cerita rekaan ‘diri’ (selfformatted stories), dengan naratif rekaan eksternal seperti wawancara kesehatan. Cicourel (1973, 1982, 1985, 1986) berhasil membuktikan bahwa kedua pendekatan ini kurang mampu memahami cara manusia dalam memproses dan mencerap pengalaman indrawi. Kemudian, ia juga mempertanyakan kemampuan dua model ini dalam menguraikan nalar manusia karena model ini cenderung memandangnya sebagai proses mekanis dan linear. Perbedaan mendasar antara model interaksi prabentuk dengan model bertujuan instrumental seperti wawancara medis, survei, dan cerita pribadi (yang rumit, ekspresif, dan kacau) mirip seperti naratif dalam sastra. Situasi kehidupan sang persona, realitas kekinian yang ia alami dipandang dari perspektif  tubuh, wawancara kesehatan cenderung memandang tubuh sebagai objek, tidak ubahnya mesin yang bersifat mekanis.

Laporan kesehatan dalam bentuk cerita cukup menjanjikan. Ada banyak penulis (beberapa di antara mereka malah bisa dikatakan piawai dalam urusan kesehatan) yang menggunakan model ini, seperti Kleinman (1988) , Brody (1989), (1989), mishler (1984), dan Paget (1988). Mereka menyatakan bahwa analisis naratif cukup bermanfaat ketika diterapkan pada laporan kesehatan. Hanya saja, definisi, tujuan analisis, metode atau teknik,  dan bentuk yang pasti tidak pernah mereka bicarakan. Mereka berasumsi bahwa cerita mampu mereflesikan perasaan manusia dan pengalaman hidupnya dan bahwa proses penyembuhan perlu penceritaan, penyimakan, dan tentu saja, penafsiran. Bagi para penyembuh  ini, setiap cerita menampilkan beragam aspek rasionalitas yang unik, membangkitkan, estetis, dan humanistis, yang kemudian dirangkai kembali dalam bentuk laporan kesehata.

Aspek kehidupan dan pengalaman nyata agak terlambat masuk ke dalam analisis naratif. Dalam feminisme dan antropologi kontoporer misalnya, studi tentang kehidupan biasanya di tarik dari pengalaman sang narator; pengalaman yang dikisahkan tersebut adalah produk bersama-sama sang narator dengan sang ilmuwan sosial. Cerita itu dianggap sebagai kisah nyata yang berpijak pada realitas sosial yang sebenarnya, sehingga dapat diuji validitas dan realiabiltasnya oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lain. Peran naratif adalah mendukung sang persona agar dapat lebih memahami hidupnya sangat erat berkaitan dengan kode, aturan, fungsi sosial teks yang ada di dalam benaknya (seperti yang dirumuskan di dalam  strukturalisme).

Pada satu sisi, analisis naratif adalah analisis yang tidak baku, hampir selalu intuitif, dan menggunakan terma-terma ciptaan sang peneliti sendiri (simak Riessman, 1993), analisis naratif biasanya berpijak pada sudut pandang sang pencerita dan bukan masyarakat, sebagai mana yang di tujukkan oleh Propp dan Levis-Strauss di dalam karya-karya mereka. Jika naratif diartikan sebagai cerita tentang kehidupan seseorang yang mengandaikan awal, tengah, dan akhir, maka naratif bisa mengambil beragam bentuk, diceritakan dalam berbagai latar peristiwa dihadapan beragam khalayak, dan bisa berkaitan dengan peristiwa atau persona-persona nyata. Dengan demikian, tema, metafora, definisi naratif, struktur cerita (awal, ttengah, akhir), dan simpulan yang di buat dapat dituliskan secara puitis dan artistik dan dibatasi oleh konteks-konteks tertentu yang bersifat tertutup- (Atkinson, 1990; simak juga Potter dan Wetherell, 1987). Sebagai contoh, seorang analis organisasional menekankan pentingnya cerita di dalam organisasi dengan menggunakan satu atau sejumlah cerita (Marti, 1990; Martin, Fieldman, Hatch, dan Satkin, 1983). Pendekatan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh tradisi analisis konten atau sistem pengkodean dalam penelitian sosilogis kuantitatif; hasil yang di peroleh cenderung akan berputar pada persoalan dimensi ‘kemanusian’ dan dimensi ‘kultural’ di dalam konteks organisasi dan bukan menjelaskan kehidupan seorang pribadi. 

Pada tataran yang lebih ekstrem, analisis makrotesktual mengamati proses verbalisasi atau representasi dari suatu masyarakat maupun kelompok masyarakat melalui kata-kata. Proese representasi cenderung memarkahi, mendramatisasi, dan mengkonstruksi relasi-relasi sosial yang kompleks. Konsep makrotekstual di pelopori oleh karya Kenneth Burke-dramaturgi (1966; Gusfield, 1989), Hugh D. Duncandramatisme(1962, 1968, 1969), dan Murray Edelman-analisis simbolik di dalam politik (1966, 1977, 1992, Merelman, 1984, 1992). Pendetan ini melihat teks sebagai tindak simbolikatau sarana untuk membingkai, mendefinisikan, dan memaknai sebuah situasi sekaligus memungkinkannya untuk di beri respon. Sebagai contoh, Burke menggunakan lima konsep dasr dramatisme untuk menganalisis wacana, seperti babak, adegan, agen, agensi, dan tujuan (upaya ini agak mirip dengan upaya yang diusulkan oleh Goffman; simak Perinbayanagam, 1991). Skema ini berhasil di terapkan pada berbagai macam wacana seperti pada uji efektivitas cerita pengadilan (Bennet dan Fieldman, 1986). Analisis wacana di level sosial, seperti pesan anti’mengendara-saat mabuk’ (Gusfield, 1966, 1986; Jacobs, 1989), turisme (MacCannell, 1976/1989), dan penelitian-penelitian lain yang mengidentifikasi tema, khalayak, dan simbol utama yang biasa di gunakan untuk mendekati atau memobalisasi kelompok-kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, analisis makrotekstual atau naratif memandang masyarakat sebagai ‘penutup’ dan melihat tanda-tanda sosial (termasuk di antaranya bahasa) sebagai teks (Brown, 1987, 1989, 1992)